DITULIS oleh Wahid Suharmawan
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang
berfikir dan merasa, tetapi terkadang terganggu fikiran dan perasaannya
sehingga salah fikir dan salah merasa. Ketika seseorang mengidap hal
demikian, yakni salah berfikir dan salah merasa, maka ia bisa sedih,
bosan, malas, kesepian. Gangguan seperti ini menurut ilmu psikologi
disebut gangguan kejiwaan ringan (neurosis atau mental disorder). Jika
kesedihan, kebosanan, malas dan kesepian menjadi berkepanjangan hingga
ngomong ngawur, perilakunya juga ngawur, nggak bisa dinalar, maka itu
namanya gangguan kejiwaan berat (psikosis). Meski demikian ia masih
sadar bahwa ia sedang mengalami gangguan jiwa. Jika ia ngomong ngawur
dan bertindak ngawur tetapi tidak menyadari, maka orang itu sudah masuk
kategori sakit jiwa atau gila.. Orang yang mengidap neurosis banyak yang
bisa mengobati diri sendiri atau melalui bantuan konselor, tetapi orang
yang sudah mengidap psikosis harus mengikuti terapi mental, sedang
orang yang sakit jiwa harus dibawa ke rumah sakit jiwa.
Kehidupan perkawinan dapat
disebut menyatukan dua keunikan. Perbedaan watak, karakter, selera dan
pengetahuan dari dua orang (suami dan isteri) disatukan dalam rumah
tangga, hidup bersama dalam waktu yang lama. Ada pasangan yang cepat
menyatu, ada yang lama baru bisa menyatu, ada yang kadang menyatu
kadang-kadang bertikai, ada yang selalu bertikai tetapi mereka tak
sanggup berpisah. Hanya di tempat tidur mereka menyatu hingga anaknya
banyak, tetapi di luar itu mereka selalu bertikai.
Kehidupan berumah tangga ada
yang berjalan mulus, lancar, sukses dan bahagia, ada yang setelah lama
mulus tiba-tiba dilanda badai, ada yang selalu menghadapi ombak dan
badai tetapi selalu bisa menyelamatkan diri.
Komunikasi antara suami isteri
bersifat khas, tidak mesti logis. Hal-hal yang logis justeru sering
disalah fahami, karena komunikasi suami isteri tidak semata-mata
menggunakan nalar, tetapi juga sarat dengan muatan perasaan. Hal-hal
yang menurut nalar sesungguhnya kecil, bisa saja menjadi sumber prahara
rumah tangga jika disikapi dengan sepenuh rasa. Ada suami isteri yang
selalu bisa menyelesaikan perselisihan tanpa bantuan orang lain, tetapi
banyak suami isteri yang justeru memerlukan bantuan orang lain untuk
meluruskan fikiran dan perasaannya. Dalam istilah psikologi, orang yang
bisa membantu orang lain mengatasi masalah kejiwaan (al irsyad an nafsy)
mereka disebut konselor, dalam bahasa Arab disebut muhtasib.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian konseling
Klemer
(1965) mengartikan konseling perkawinan sebagai koneling yang di
selenggarakannya sebagai metode pendidikan, metode penurunan ketegangan
emosional, metode membantu patner-patner yang menikah untuk memecahkan
masalah dan cdara menentukan pola pemecahan masdalah yang lebih baik.
Dikatakan sebagai metode
pendidikan karena konseling perkawinan memberikan pemahaman kepada
pasangan yang berkonsultasi tentang diri, pasangannya, dan masalah-
masalah hubungan perkawinan yang dihadapi serta cara- cara yang dapat
dilakukan dalam mengatasi permasalahan perkawinan.
Penurunan ketegangan emosional
dimaksudkan sebagai konseling perkawinan dilaksanakan biasanya saat
kedua belah pihak berada pada situasi emosional yang sangat berat.
Dengan konseling, pasangan dapat melakukan ventilasi, dengan jalan
membuka emosionalnya sebagai katartis terhadap tekanan-tekanan emosional
yang dihadapi selama ini. Yang membantu disebut konselor seorang
konselor bukan subyek, karena konselor hanya membantu, subyeknya adalah
klien itu sendiri dan obyeknya adalah masalah yang dihadapi. Yang dapat
dilakukan oleh seorang konselor antara lain membantu klien untuk ;
1. memahami diri sendiri
2. mengukur kemampuannya
3. mengetahui kesiapan dan kecenderungannya’
4. memperjelas orientasi, motivasi dan aspirasinya,
5. mengetahui kesulitan dan problem lingkungan dimana ia hidup, serta peluang yang terbuka baginya
6. membantu menggunakan pengetahuan tersebut (1 s/d 5) untuk menetapkan tujuan yang paling kongkrit bagi dirinya
7.
mendorong klien untuk berani mengambil keputusan yang sesuai dengan
kemampuannya, dan memanfaatkan se optimal mungkin potensi yang ada pada
dirinya untuk merebut peluang yang terbuka. Jika klien nya orang awam,
konseling dibutuhkan untuk :
- membantu pengembangan diri dan memilih gaya hidup (life style) yang sesuai dengan aspirasinya
- menjaga agar mereka tidak terjatuh pada keadaan merasa tidak wajar dan tidak bahagia
- membantu menentukan pilihan-pilihan
- membantu meringankan perasaan, frustrasi dn sebangsanya.
Seorang klien yang semula
mengidap rasa keterasingan, asing dari diri sendiri, asing dari problem
yang dihadapi, asing dari lingkungan hidupnya sehingga ia tidak tahu
masalahnya dn tidak berani mengambil tindakan bahkan tidak lagi tahu apa
yang diinginkan, dapat dibantu memecahkan persoalannya dengan
langkah-langkah sebagai berikut:;
1. diajak memahami realita apa
sebenarnya yang sedang dihadapi, mislnya ditinggal mati orang yang
dicintai, dicerai suami, kehilangan jabatan, kehilangan harta,
kehilangan kekasih, sakit yang berklepanjangan, dikhiananti bawahan,
dizalimi oleh orang yang selama ini dibantu dan sebagainya; bahwa
realita itu adalah benar-benar realita dan harus diterima, suka atau
tidak suka karena itu memang realita.
2. Diajak kembali mengenali
siapa dirinya, apa posisinya, dan apa kemampuan-kemampuan yang dimiliki.
Misalnya diingatkan bahwa ia adalah seorang ayah dari anak-anak yang
membutuhkan kehadirannya. Atau bahwa kepandaiannya banyak dibutuhkan
orang lain, atau bahwa dia adalah hamba Allah yang tidak bisa menghindar
dari kehendak Nya, dan apa yang dialami adalah bagian dari kehendak Nya
yang kita belum tahu apa maksud dan hikmahnya.
3. Mengajak klien memahami
keadaan yang sedang berlangsung di sekitarnya, bahwa keadaan memang
selalu berubah; misalnya perubahan nilai, perubahan struktur, perubahan
zaman, dan bahwa perubahan adalah sunnatullah yang tidak bisa ditolak,
tetapi yang penting bagaimana kita mensikapi dan mengantisipasi
perubahan itu.
4. Diajak untuk meyakini bahwa
Tuhan itu Maha Adil, maha Pengasih, maha Mengetahui, maha Pengampun, dan
semua manusia diberi peluang oleh Tuhan. Juga diajak meyakini bahwa
dengki, iri hati dan putus asa adalah tercela dan tidak berguna. Bahwa
berbuat dan salah itu lebih baik daripada tidak berbuat karena takur
salah.
B. Wilayah Konseling Perkawinan
Problem diseputar perkawinan atau kehidupan berkeluarga biasanya berada di sekitar;
1. Kesulitan memilih jodoh, suami atau isteri
2. Ekonomi yang kurang mencukupi
3. Perbedaan watak, temperamen dan karakter yang terlalu tajam antara suami dan isteri
4. Ketidak puasan dalam hubungan seksual
5. Kejenuhan rutinitas
6. Hubungan antar keluarga besan yang kurang baik
7. Ada orang ketiga, WIL atau PIL
8. Masalah harta warisan
9. Dominasi orang tua/mertua
10. Kesalah pahaman antara suami isteri
11. Poligami
12. Perceraian
C. Tujuan Umum Konseling Perkawinan
Tujuan
konselingperkawinan adalah agar klien dapat menjalani kehidupan berumah
tangga secara benar, bahagia dan mampu mengatasi problem-problem yang
timbul dalam kehidupan perkawinan. Oleh karena itu maka konseling
perkawinan pada prinsipnya berisi dorongan untuk menghayati atau
menghayati kem¬bali prinsip-prinsip dasar, hikmah, tujuan dan tuntunan
hidup berumah tangga menurut ajaran Islam. Konseling diberikan agar
suami/istri menyadari kembali posisi masing- masing dalam keluarga dan
mendorong mereka untuk melakukan sesuatu yang terbaik bukan hanya untuk
dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarganya. Jika memperhatikan kasus
perkasus maka konseling perkawinan diberikan dengan tujuan :
(a) Membantu pasangan perkawinan itu mencegah terja¬dinya/meletus problema yang mengganggu kehidupan perkawinan mereka.
(b)
Pada pasangan yang sedang dilanda kemelut rumah tangga, Konseling
diberikan dengan maksud agar mereka bisa mengatasi sendiri problema yang
sedang di¬hadapi.
(c) Pada
pasangan yang berada dalam tahap rehabilitasi, konseling diberikan agar
mereka dapat memelihara kondisi yang sudah baik menjadi lebih baik.
D. Tipe tipe Perkawinan
1. Conflict-habituated
Tipe
conflict-habituated boleh dibilang sebagai “partner in crime”. Tipe ini
adalah tipe pasangan yang jatuh dalam kebiasaan mengomel dan bertengkar
tiada henti. Kebiasaan ini menjadi semacam “jalan hidup” bagi mereka.
Tak heran kalau secara konstan mereka selalu menemukan ketidaksepakatan.
Dengan kata lain, stimulasi perbedaan individu dan konflik justru
mendukung kebersamaan pasangan tersebut.
2. Devitalized
Tipe
hubungan devitalized merupakan karakteristik pasangan yang sekali waktu
dapat mengembangkan rasa cinta, menikmati seks, dan satu sama lain
saling menghargai. Namun mereka cenderung merasakan kehampaan hidup
perkawinan kendati tetap berada bersama-sama. Karena kebersamaan mereka
lebih karena dorongan demi anak atau citra mereka dalam komunitas
masyarakat. Menariknya, pasangan tipe ini tak merasa dirinya maupun
perkawinannya tidak bahagia. Mereka berfikir bahwa kondisi saat ini
merupakan hal biasa setelah berlalunya tahun-tahun penuh gairah.
Ironisnya, tipe perkawinan inilah yang paling banyak ditemukan dalam
masyarakat mana pun.
3. Passive-congenial
Pada
dasarnya, pasangan tipe passive-congenial memiliki kesamaan dengan
pasangan tipe devitalized. Hanya saja kehampaan yang dirasakan telah
berlangsung sejak awal perkawinan. Boleh jadi karena perkawinan seperti
ini biasanya berangkat dari berbagai pertimbangan ekonomis atau status
sosial dan bukannya relasi emosional. Seperti halnya pasangan tipe
devitalized yang minim keterlibatan emosi, pasangan passive-congenial
juga tidak terlalu berkonflik, namun kurang puas menjalani
perkawinannya. Dalam keseharian, pasangan-pasangan tipe ini lebih sering
saling menghindar dan bukannya saling peduli.
4. Utilitarian
Berbeda
dengan tipe-tipe lain, tipe utilitarian lebih menekankan peran
ketimbang hubungan. Misalkan peran sebagai ibu, ayah atau peran-peran
lain. Terdapat perbedaan sangat kontras bila dibandingkan dengan tipe
vital dan total yang bersifat intrinsik, yaitu mengutamakan relasi
perkawinan itu sendiri
5. Vital
Cirinya,
pasangan suami-istri terikat satu sama lain, terutama oleh relasi
pribadi antara yang satu dengan yang lain. Di dalam relasi tersebut,
satu sama lain saling peduli untuk memuaskan kebutuhan psikologis pihak
lain. Mereka berdua pun saling berbagi dalam melakukan berbagai
aktivitas kendati masing-masing individu memiliki identitas kepribadian
yang kuat. Yang mengesankan, komunikasi mereka mengandung kejujuran dan
keterbukaan. Kalaupun mengalami konflik biasanya lantaran ada hal-hal
yang sangat penting. Untungnya, baik suami maupun istri saling berupaya
menyelesaikannya dengan cepat dan bijak. Tentu saja tipe ini merupakan
tipe relasi perkawinan yang paling memuaskan. Tak heran kalau tipe ini
paling sedikit persentasenya dalam masyarakat.
6. Total
Tipe
ini memiliki banyak kesamaan dengan tipe vital, bedanya pasangan ini
sedemikian saling menyatu hingga menjadi “sedaging”. Mereka selalu dalam
kebersamaan secara total yang meminimalkan adanya pengalaman pribadi
dan konflik. Akan tetapi tidak seperti pasangan tipe devitalized,
kesepakatan di antara mereka biasanya dibangun demi hubungan itu
sendiri. Sayangnya, tipe perkawinan seperti ini sangat jarang.
E. Penghulu yang ideal
Penghulu
bukan hanya petugas pencatat nikah, tetapi jabatan kepenghuluan
memiliki wilayah horizontal dan vertical. Oleh karena itu idealnya
seorang penghulu bukan saja menguasai bidang-bidang tersebut diatas (1
s/d 12) tetapi juga menguasai psikologi keluarga, yang dengan itu
penghulu bukan hanya bisa memberi nasehat perkawinan, tetapi juga bisa
menjadi konselor perkawinan . Seorang muballigh dituntut untuk mampu
berbicara agar orang-orang enak mendengarnya, sedang seorang konselor
dituntut untuk sangggup menjadi pendengar yang baik dari keluhan-keluhan
klien. Seorang klien terkadang tidak membutuhkan nasehat, tetapi hanya
butuh tempat curah perhatian (curhat), karena begitu curhat beban
menjadi ringan. Jika sudah merasa ringan kok dinasehati, maka nasehat
itu sendiri menjadi beban.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
konseling
perkawinan sebagai koneling yang di selenggarakannya sebagai metode
pendidikan, metode penurunan ketegangan emosional, metode membantu
patner-patner yang menikah untuk memecahkan masalah dan cdara menentukan
pola pemecahan masdalah yang lebih baik. Yang membantu disebut konselor
seorang konselor bukan subyek, karena konselor hanya membantu,
subyeknya adalah klien itu sendiri dan obyeknya adalah masalah yang
dihadapi.
Tujuan konselingperkawinan adalah agar
klien dapat menjalani kehidupan berumah tangga secara benar, bahagia
dan mampu mengatasi problem-problem yang timbul dalam kehidupan
perkawinan. Oleh karena itu maka konseling perkawinan pada prinsipnya
berisi dorongan untuk menghayati atau menghayati kem¬bali
prinsip-prinsip dasar, hikmah, tujuan dan tuntunan hidup berumah tangga
menurut ajaran Islam
Daftar Pustaka
Latipun, Psikologi Konseling Malang: UPT. Penerbitan Universitas Muhamadiyah Malang, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar