Ditulis : Wahid Suharmawan
A. Sekilas Bimbingan dan Konseling di Amerika
Di Amerika pada awal
tahun 1960, muncul tenaga konselor di SD, yang kemudian pada tahun 1975,
berdasarkan hukum publik 94-145, Pemerintah Amerika menyediakan dana khusus
untuk melayani anak-anak penyandang cacat, sehingga banyak daerah yang
memasukkan tenaga Konselor di sekolah-sekolah terutama tingkat dasar dan
menengah. Pengaruh
kuat lainnya datang dari organisasi profesi, yaitu: Asosiasi Konseling Amerika
(ACA), Asosiasi
Konselor Sekolah Amerika (ASCA), dan Asosiasi Pendidikan Konselor dan Supervisi (ACES)
(Wittmer, 1993).
Para anggota organisasi ini berupaya menggerakkan para
profesional untuk mengembangkan aturan-aturan seperti program akreditasi dan
sertifikasi. Sehingga secara berangsur-angsur konseling sekolah menjadi lebih
profesional, dan utuh baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
B. Sekilas Bimbingan dan Konseling di Indonesia
Sejarah lahirnya Bimbingan dan Konseling di Indonesia
diawali dari dimasukkannya Bimbingan dan Konseling (dulunya Bimbingan dan
Penyuluhan) pada setting sekolah. Pemikiran ini diawali sejak tahun 1960. Hal
ini merupakan salah satu hasil Konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20 &; 24
Agustus 1960.
Perkembangan berikutnya tahun 1964 IKIP Bandung dan IKIP
Malang mendirikan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Tahun 1971 beridiri Proyek
Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada delapan IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP
Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya, IKIP
Malang, dan IKIP Menado. Melalui proyek ini Bimbingan dan Penyuluhan
dikembangkan, juga berhasil disusun Pola Dasar Rencana dan Pengembangan
Bimbingan dan Penyuluhan pada PPSP. Lahirnya Kurikulum 1975 untuk Sekolah
Menengah Atas didalamnya memuat Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan.
Kurikulum 1975 berisi layanan Bimbingan dan Konseling
sebagai salah satu dari wilayah layanan dalam sistem persekolahan mulai dari
jenjang SD sampai dengan SMA, yaitu pembelajaran yang didampingi layanan
Manajemen dan Layanan Bimbingan dan Konseling. Pada tahun 1976, ketentuan yang
serupa juga diberlakukan untuk SMK. Dalam kaitan inilah, dengan kerja sama
Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang, pada
tahun 1976 Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan menyelenggarakan pelatihan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan
dan konseling untuk guru-guru SMK yang ditunjuk.
Tindak lanjutnya memang tidak diketahui perkembangannya,
karena para kepala SMK kurang memberikan ruang gerak bagi alumni pelatihan
Bimbingan dan Konseling tersebut untuk menyelenggarakan layanan bimbingan dan
konseling sekembalinya mereka ke sekolah masing-masing. Dan dengan penetapan
jurusan yang telah pasti sejak kelas
I SMK, memang agak terbatas ruang gerak yang tersisa, misalnya untuk
melaksanakan layanan bimbingan karier.
Meskipun ketentuan perundang-undangan belum memberikan
ruang gerak, akan tetapi karena didorong oleh keinginan kuat untuk memperkokoh
profesi konselor, maka dengan dipelopori
oleh para pendidik konselor yang bertugas sebagai tenaga akademik di beberapa
LPTK, pada tanggal 17 Desember 1975 di Malang didirikanlah Ikatan Petugas
Bimbingan Indonesia (IPBI), yang menghimpun konselor lulusan Program Sarjana
Muda dan Sarjana yang bertugas di sekolah dan para pendidik konselor yang
bertugas di LPTK, di samping para konselor yang berlatar belakang bermacam-macam yang secara de facto bertugas sebagai guru
pembimbing di lapangan.
Ketika ketentuan tentang Akta Mengajar diberlakukan,
tidak ada ketentuan tentang ”Akta Konselor”. Oleh karena itu, dicarilah jalan
ke luar yang bersifat ad hoc agar
konselor lulusan program studi Bimbingan dan Konseling juga bisa diangkat
sebagai PNS, yaitu dengan mewajibkan mahasiswa program S-1 Bimbingan dan
Konseling untuk mengambil program minor sehingga bisa mengajarkan 1 bidang
studi. Dalam hal itu IPBI tetap mengupayakan kegiatan peningkatan
profesionalitas anggotanya antara lain dengan menerbitkan Newsletter sebagai wahana komunikasi profesional meskipun tidak
mampu terbit secara teratur, di samping mengadakan pertemuan periodik berupa
Konvensi dan
Kongres.
Untuk jenjang SD, pelayanan bimbingan dan konseling belum
terwujud sesuai dengan harapan, dan belum ada konselor yang diangkat di SD,
kecuali mungkin di sekolah swasta tertentu, tetapi pelaksanaan bimbingan
dilakukan secara inplisit dalam program pendidikan. Untuk jenjang sekolah
menengah, posisi konselor diisi seadanya termasuk, ketika SPG di-phase out mulai akhir tahun 1989,
sebagian dari guru-guru SPG yang tidak diintegrasikan ke lingkungan LPTK
sebagai dosen Program D-II PGSD, juga ditempatkan sebagai guru pembimbing,
umumnya di SMA.
Dengan diberlakukannya Kurikulum 1994, mulailah ada ruang
gerak bagi layanan ahli bimbingan dan konseling dalam sistem persekolahan di
Indonesia, sebab salah satu ketentuannya adalah mewajibkan tiap sekolah untuk
menyediakan 1 (satu) orang konselor untuk setiap 150 (seratus lima puluh)
peserta didik, meskipun hanya terealisasi pada jenjang pendidikan menengah.
Sejumlah hal dilakukan sebagai konsolidasi profesi
sehingga Bimbingan dan konseling menjadi profesi yang utuh dan berwibawa antara
lain kata penyuluhan menjadi konseling,
BK di sekolah hanya dilakukan oleh guru Pembimbing, dan lain sebagainya. Pada
tahun 2001 dalam kongres di Lampung Ikatan Pertugas Bimbingan Indonesia (IPBI)
berganti nama menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN).
C. Tahapan Pergerakan Profesionalisasi Guru BK
1. Periode
I dan II: (sebelum 1960 sd. 1970-an)
Prawacana dan pengenalan
(sebelum 1960-1970-an) Pada periode ini pembicaraan tentang bimbingan dan
konseling sudah dimulai, terutama oleh para pendidik yang pernah mempelajarinya
diluar negeri. Periode ini berpuncak dengan dibukanya jurusan Bimbingan dan
penyuluhan pada tahun 1963 di IKIP Bandung (sekarang namanya UPI).
Pembukaan ini menandai dimulainya periode kedua yang secara tidak langsung
memperkenalkan pelayanan BP pada masyarakat akademik, dan pendidik. Sukses
periode kedua in ditandai dengan dua keberhasilan, yang diluluskannya sejumlah
sarjana BP, dan semakin dipahami dan dirasakan kebutuhan akan pelayanan
tersebut.
2. Periode
III: (1970-1990 an)
Pada periode ini
diberlakunya kurikulum 1975 untuk sekolah dasar sampai sekolah menengah tingkat
atas. Kurikulum ini secara resmi mengintegrasikan ke dalamnya layanan BP untuk
siswa. Pada tahun ini terbentuk organisasi profesi BP dengan nama IPBI (Ikatan
Petugas Bimbingan Indonesia). Pada periode ketiga ini ditandai juga dengan
pemberlakuan kurikulum 1984. Dalam kurikulum 1984 ini, pelayanan BP difokuskan
pada bidang-bidang karir. Dan pada periode ini muncul beberapa permasalahan,
seperti:
a.
Berkembangnya
pemahaman yang keliru, yaitu mengidentikan Bimbingan Karir dengan Bimbingan
Penyuluhan.
b. Kerancuan
dalam mengimlementasikan SK Menpan No 26/Menpan/1989 terhadap penyelenggaraan
layanan bimbingan di sekolah. Dalam SK tersebut terimplikasi bahwa semua guru
dapat diserahi tugas melaksanakan pelayanan BP. Akibatnya pelayanan BP menjadi
kabur, baik pemahaman maupun implementasinya.
3. Periode
IV: Konsolidasi (1990-2000)
Pada periode ini IPBI
berusaha keras untuk mengubah kebijakan bahwa pelayanan BP itu dapat
dilaksanakan oleh semua guru (seperti terjadi pada periode ke empat di atas).
Pada periode ini ditandai oleh;
a.
Diubahnya
secara resmi kata Penyuluhan Menjadi
Konseling.
b.
Pelayanan
BK di sekolah hanya dilaksanakan oleh guru pembimbing yang secara khusus
ditugasi untuk itu.
c.
Mulai
diselenggarakan penataran (nasional
dan daerah) untuk guru-guru pembimbing.
d.
Mulai
adanya formasi untuk pengangkatan menjadi guru pembimbing.
e. Pola pelayanan BK di
sekolah dikemas dalam bk pola 17, dan Dalam
bidang kepengawasan sekolah dibentuk Kepengawasan Bidang BK.
f.
Dikembangkannya
sejumlah panduan pelayanan BK di sekolah yang lebih operasional oleh IPBI.
4. Periode
V: Lepas Landas Tahun 2001
Lepas
landas semula
diharapkan periode konsolidasi akan dapat mencapai hasil-hasil yang memadai,
sehingga mulai pada tahun 2001 profesi BK di Indonesia sudah dapat tinggal
landas. Namun kenyataan menunjukkan bahwa masih ada permasalahan yang belum
terkonsilidasi, yang berkenaan dengan sumber daya manusia(SDM). Kelemahannya
berakar dari kondisi untrained,
undertrained, dan uncommitted para pelaksana layanan Bimbingan dan
Konseling di Sekolah.
Walaupun
begitu pada tahun-tahun setelah masa konsolidasi terdapat beberapa peristiwa
yang dapat dijadikan tonggak bagi pengembangan profesi konseling menuju era
lepas landas, yaitu:
a. Penggantian
nama organisasi profesi dari IPBI menjadi ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan
Konseling Indonesia),
b.
Lahirnya
undang-undang No 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional, yang dimuat
di dalamnya ketentuan bahwa konselor
termasuk salah satu jenis tenaga pendidik (bab1 ayat 4).
c. Kerjasama
pengurus besar ABKIN dengan DIKTI DEPDIKNAS tentang Standarisasi Profesi
Konseling.
d. Kerjasama
ABKIN dengan direktorat PLP dalam merumuskan kompetensi guru pembimbing (konselor) SMP dan
sekaligus memberikan pelatihan kepada mereka.
Daftar Pustaka
ABKIN,
2009. Hasil
Kongres Kongres XI
ABKIN Di Surabaya pada
Tanggal 14-15 November 2009
Prayitno
dan Amti, Erman. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta:Rineka
Cipta.
Sukardi,
Dewa Ketut. 2008. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di
Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Walgito,
Bimo. 2004. Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Yogyakarta : Penerbit Andi.
Winkel,
W.S. 2005. Bimbingan dan Konseling di Intitusi Pendidikan. Edisi Revisi.
Jakarta: Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar