Minggu, 26 April 2015

JENIS-JENIS PENELITIAN KUALITATIF

Ditulis Oleh; Wahid Suharmawan

A. Pendekatan Fenomenologi
Istilah fenomenologi digunakan untuk menandai suatu metode filsafat yang ditentukan oleh Edmund Husserl. Menurut Leiter, Husserl berusaha mengembangkan suatu fenomenologi transcendental, yang berbeda dengan fenomenologi eksistensial. Kedua fenomenologi tersebut sama-sama memusatkan perhatian pada soal kesadaran (consciousness).
            Sumbangan pemikiran Husserl lainnya adalah konsepnya tentang natural attitude. Konsep inilah yang menghubungkan filsafat fenomenologi dengan sosiologi. Lewat konsep ini Husserl ingin mengemukakan bahwa Ego yang berada dalam situasi tertentu biasanya menggunakan penalaran yang sifatnya praktis, seperti dalam kehidupan sehari-hari. Natural attitude ini disebut juga commonsense reality. Oleh Husserl, natural attitude ini dibedakan dengan theoretical attitude dan mytical religious attitude. Dengan perbedaan ini Husserl meletakkan salah satu ide pokok yang kemudian dikembangkan oleh Shutz yang mengaitkan attitude dengan bisa tidaknya terjadi proses interaksi social.

Fenomenologi Secara ringkas bahwa pendekatan fenomenologi bertujuan memperoleh interpretasi terhadap pemahaman manusia (subyek) atas fenomena yang tampak dan makna dibalik yang tampak, yang mencul dalam kesadaran manusia (subyek), untuk dapat mengetahui aspek subyektif tindakan orang dalam kehidupan sehari-hari kita harus masuk kedalam dunia kesadaran (konseptual) subyek yang diteliti.

Penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji. Menurut Creswell (1998:54), Pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian tentang sikap yang alami sampai ditemukan dasar tertentu. Penundaan ini biasa disebut epoche (jangka waktu). Konsep epoche adalah membedakan wilayah data (subjek) dengan interpretasi peneliti. Konsep epoche menjadi pusat dimana peneliti menyusun dan mengelompokkan dugaan awal tentang fenomena untuk mengerti tentang apa yang dikatakan oleh responden. 
           
B. Pendekatan Grounded Theory
Grounded theory dikemukakan oleh Barney Glaser dan Anselm Strauss yang menyatakan ...the discovery of theory from data which we call Grounded theory...atau dengan kata lain , teori harus dibangun beralas (grouended) pada data.... Grounded theory merujuk pada teori yang dibangun secara indektif dari suatu kumpulan data.

            Pada penelitian dengan menggunakan strategi ini, peneliti langsung terjun ke lapangan tanpa membawa rancangan konseptual, teori, dan hipotesis tertentu. Glesser dan Strauss mengetengahkan dua jenis teori, yaitu teori substantive tertentu, atau empiris, dari pengamatan bersifat sosiologis, seperti perawatan pasien, pendidikan professional, kenakalan atau penyimpangan adapt, hubungan ras, atau organisasi/badan penelitian. Sedangkan teori formal ditemukan dan dibentuk untuk kawasan kategori konseptual teoritik atau untuk bidang pengamatan sosiologis formal atau konseptual, seperti tanda cacat, tingkah laku yang menyimpang dari adapt, organisasi formal, sosialisasi, kekuasaan, dan kekuatan sosial, atau mobilitas sosial.

            Menurut Schlegel dan Stern, ada tiga elemen dasar dari grounded theory, yang masing-masing tidak terpisahkan satu dengan yang lain, yaitu (1) konsep; (2) kategori; (3) proposisi.

1)      Konsep
Dalam grounded theory, teori dibangun dari konsep, bukan langsung dari data itu sendiri. Sedangkan konsep diperoleh melalui konseptualitas dari data. Tipe konsep yang harus dirumuskan ada dua ciri pokok, yaitu (1) konsep itu haruslah analitis-telah cukup digeneralisasikan guna merancang dan menentukan cirri-ciri kesatuan yang kongkrit, tetapi bukan kesatuan itu sendiri; dan (2) konsep juga harus bisa dirasakan artinya bisa mengemukakan gambaran penuh arti, ditambah dengan ilustrasi yang tepat, yang memudahkan orang bisa menangkap referensinya dari segi pengalamannya sendiri.

2)      Kategori
Kategori adalah unsur konseptual dari suatu teori, sedangkan kawasannya adalah aspek atau unsur suatu kategori. Kategori maupun kawasannya adalah konsep yang ditujukan oleh data yang pada mulanya menyatakannya, maka kategori dan kawasannya ini akan tetap, jadi tidak akan berubah atau menjadi lebih jelas ataupun meniadakan.

3)      Proposisi atau Hipotesis
Pada elemen ketiga ini, pada awalnya Glaser dan Strauss (1967) menyebut sebagai hipotesis, tetapi istilah proposisi tampaknya dianggap paling tepat. Hal ini dikarenakan disadari bahwa proposisi menunjukkan adanya hubungan konseptual, sedangkan hipotesis lebih menunjuk pada hubungan terukur.  Dalam grounded theory yang dihasilkan adalah hubungan konseptual, bukan hubungan terukur sehingga digunakan istilah-istilah proposisi. Hipotesis dalam penelitian grounded adalah suatu pernyataan ilmiah yang terus dikembangkan.

Walaupun suatu studi pendekatan menekankan arti dari suatu pengalaman untuk sejumlah individu, tujuan pendekatan grounded theory adalah untuk menghasilkan atau menemukan suatu teori yang berhubungan dengan situasi tertentu . Situasi di mana individu saling berhubungan, bertindak, atau terlibat dalam suatu proses sebagai respon terhadap suatu peristiwa. Inti dari pendekatan grounded theory adalah pengembangan suatu teori yang berhubungan erat kepada konteks peristiwa dipelajari.

C. Pendekatan Studi Kasus
Penelitian studi kasus adalah studi yang mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam, dan menyertakan berbagai sumber informasi. Penelitian ini dibatasi oleh waktu dan tempat, dan kasus yang dipelajari berupa program, peristiwa, aktivitas, atau individu.

            Menurut Stake (dalam Denzin dan Lincoln, 1991: 202) studi kasus merupakan salah satu strategi yang banyak dilakukan dalam penelitian kualitatif, meskipun tidak semua penggunaan studi kasus ini merupakan penelitian kualitatif. Fokus dari studi kasus ini melekat pada paradigma yang bersifat naturalistik, holistik, kebudayaan, dan fenomenologi.

            Menurut Yin (1993), ada beberapa jenis studi kasus, yaitu studi kasus yang bersifat exploratory, and descriptive. Lebih lanjut, Yin mengatakan bahwa studi kasus ini lebih banyak burkutat upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, bagaimana dan mengapa, serta pada tingkat tertentu juga menjawab pertanyaan apa/apakah.

            Sementara Stake (1995) mengemukakan jenis studi kasus yang lainnya, yaitu pertama, studi kasus intrinsik yang merupakan usaha penelitian untuk mengetahui “lebih dalam” mengenai suatu hal. Jadi, studi kasus ini studi kasus ini tidak dimaksudkan untuk membangun teori. Kedua, studi kasus instrumental yang bertujuan untuk menghasilkan temuan-temuan baru yang dapat mempertajam suatu teori. Kasus di sini hanya merupakan alat mencapai tujuan lain. Ketiga, studi kasus kolektif, yang merupakan perluasan dari kasus instrumental untuk memperluas pemahaman dan menyumbang kepada pembentukan teori.

D. Pendekatan Etnografi dan Etnografi Komunikasi
Etnografi adalah uraian dan penafsiran suatu budaya atau sistem kelompok sosial. Peneliti menguji kelompok tersebut dan mempelajari pola perilaku, kebiasaan, dan cara hidup. Etnografi merupakan proses dan hasil dari sebuah penelitian. Sebagai proses, etnografi melibatkan pengamatan yang cukup panjang terhadap suatu kelompok, dimana dalam pengamatan tersebut peneliti terlibat dalam keseharian hidup responden atau melalui wawancara satu per satu dengan anggota kelompok tersebut. Peneliti mempelajari arti atau makna dari setiap perilaku, bahasa, dan interaksi dalam kelompok.

Sedangkan etnografi menurut W Penn Handwerker (2002) dalam Sugito (2010), menyangkut produk dan proses riset yang terdokumentasi mengenai apa, dan bagaimana orang-orang mengetahui, merasakan, dan melakukan dengan cara spesifik di dalam sejarah hidup individu. Etnografi mencakup peristiwa yang berkaitan dengan global dan proses deskriptif, koperatif dan analisis budaya yang bersifat menjelaskan. Membandingkan dan memperhatikan variabilitas`budaya antara kelompok sosial yang mendasar tetapi juga variabilitas budaya antara antarindividu.

Praktik etnografi merupakan pemaknaan, menjelaskan fenomena dan variasi antarbudaya. Memperhatikan dan menghiraukan variabilitas budaya antarindividu, membuat kenyataan kenyataan kelompok sosial, keberadaan budaya, dan penempatan tentang batasan budaya dipolakan pada poin-poin suatu pemahaman dengan teliti untuk menandai budaya yang utuh (W Penn Handwerker, 2002).
Pemahaman etnografi menjadikan orang mempunyai pengalaman bekerjasama dengan suatu populasi spesifik yang memberikan isyarat yang sangat penting adalah perbedaan budaya baru yang berlangsung di sekitar kita. Studi etnografi merupakan salah satu deskripsi tentang cara masyarakat berpikir, hidup, dan berprilaku.

Schensul dan Lacompte (1999) dalam Sugito (2010), mendefinisikan etnografi sebagai: 1) suatu pendekatan ke arah pelajaran tentang sosial dan hidup masyarakat difokuskan pada budaya, institusi, dan sistem pengaturan lain yang ilmiah; 2) investigatif menggunakan peneliti sebagai alat pengumpul data yang utama; 3) menggunakan metoda riset kaku dan teknik data-collecting untuk menghindari penyimpangan dan memastikan ketelitian data; 4) menekankan dan berdasarkan pada perspektif orang di dalam riset yang menentukan; 5) induktif, membangun teori lokal untuk menguji dan mengadaptasikannya untuk penggunaan kedua-duanya di tempat lain.

 Menurut Hymes (1974), istilah etnografi komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajian berlandaskan etnografi dan komunikasi.. Cakupan kajian tidak dapat dipisah-pisahkan, misalnya hanya mengambil hasil-hasil kajian dari linguistik, psikologi, sosiologi, etnologi, lalu menghubung-hubungkannya. Fokus kajiannya meneliti secara langsung terhadap penggunaan bahasa dalam konteks situasi tertentu, sehingga dapat mengamati dengan jelas pola-pola aktivitas tutur, dan kajiannya diupayakan tidak terlepas (secara terpisah-pisah), misalnya tentang gramatika (seperti dilakukan oleh linguis), tentang kepribadian (seperti psikologi), tentang struktur sosial (seperti sosiologi), tentang religi (seperti etnologi), dan sebagainya. 

Dalam kaitan dengan landasan itu, seorang peneliti tidak dapat membentuk bahasa, atau bahkan tutur, sebagai kerangka acuan yang sempit. Peneliti harus mengambil konteks suatu komunitas (community), atau jaringan orang-orang, lalu meneliti kegiatan komunikasinya secara menyeluruh, sehingga tiap penggunaan saluran atau kode komunikasi selalu merupakan bagian dari khasanah komunitas yang diambil oleh para penutur ketika dibutuhkan.

E. Pendekatan Biografi
Penelitian biografi adalah studi tentang individu dan pengalamannya yang dituliskan kembali dengan mengumpulkan dokumen dan arsip-arsip. Tujuan penelitian ini adalah mengungkap turning point moment atau epipani yaitu pengalaman menarik yang sangat mempengaruhi atau mengubah hidup seseorang. Peneliti menginterpretasi subjek seperti subjek tersebut memposisikan dirinya sendiri.

            Dalam siklus hidup seseorang, dari kelahiran hingga kematian, berbagai kejadian dialami oleh individu. Pengalaman ini merupakan unsur yang sangat menarik untuk diketahui karena ia bersifat akumulatif yang tidak hanya menjelaskan apa saja yang dialami oleh seseorang, tetapi setting di mana kejadian dan pengalaman itu berlangsung. Metode biografi berusaha merekam kembali pengalaman yang terakumulasi tersebut. Biografi karenanya merupakan sejarah individual yang menyangkut berbagai tahap kehidupan dan pengalaman yang dialami dari waktu ke waktu.

            Biografi ini memiliki banyak varian, antara lain potret, profil, memoir, life history, autobiografi, dan diary. Varian semacam ini tidak hanya menunjukkan cara di dalam melihat pengalaman yang terakumulasi tersebut, tetapi juga memperlihatkan perluasan dari metode ini sebagai metode yang penting dalam penelitian social.

            Bahan yang digunakan dalam biografi ini adalah dokumen (termasuk surat-surat pribadi) dan hasil wawancara, tidak hanya dengan orang yang bersangkutan, tetapi juga dengan orang yang disekelilingnya. Dengan cara ini pula individu dapat dikendalikan sekaligus melihat data dari dimensi yang lain karena biografi bagaimanapun juga merupakan bagian dari proses representasi sosial.

F. Analisis Semiotika
Semiotika merupakan bidang studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja (semiologi). Dalam memahami studi tentang makna setidaknya terdapat tiga unsur utama yakni; (1) tanda, (2) acuan tanda, dan (3) pengguna tanda. Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa di tangkap oleh indra. Tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri. Tanda bergantung pada pengenalan oleh penggunanya sehingga disebut tanda. Misalnya, melambaikan tangan kepada seseorang yang akan ditinggalkan. Dalam hal ini, tanda mengacu sebagai gerakan yang melambangkan perpisahan dan hal ini dipahami baik oleh komunikator maupun komunikan, sehingga dengan demikian komunikasi pun berlangsung.

Analisis semiotik merupakan upaya untuk mempelajari linguistik-bahasa dan lebih luas dari hal tersebut adalah semua perilaku manusia yang membawa makna atau fungsi sebagai tanda. Bahasa merupakan bagian linguistik, dan linguistik merupakan bagian dari obyek yang dikaji dalam semiologi. Selain bahasa yang merupakan representasi terhadap obyek tertentu, pemikiran tertentu atau makna tertentu, obyek semiotika juga mempelajari pada masalah-masalah non linguistik.

G. Analisis Wacana
            Analisis wacana merupakan suatu kajian yang digunakan secara ilmiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan. Penggunaan bahasa secara alamiah ini berarti penggunaan bahasa seperti dalam komunikasi sehari-hari. Stubbs menjelaskan bahwa analisis wacana menekankan kajian penggunaan bahasa dalam konteks sosial, khususnya dalam interaksi antar penutur. Senada dengan itu, Cook dalam hal ini menyatakan bahwa analisis wacana itu merupakan kajian yang membahas tentang wacana, sedangkan wacana itu adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Menurut Stubbs (Arifin,2000:8),

Sedangkan analisis wacana dalam Sobur ( 2006:48) adalah studi tentang struktur pesan pada dalam komunikasi. Lebih tepatnya lagi, telaah mengenai aneka fungsi (prakmatik) bahasa. Kajian tentang pembahasaan realitas dalam sebuah pesan tidak hanya apa yang tampak dalam teks atau tulisan, situasi dan kondisi (konteks) seperti apa bahasa tersebut diujarkan akan membedakan makna subyektif atau makna dalam perspektif mereka.

            Crigler (1996) dalam Sobur (2006 : 72) mengemukakan bahwa analisis wacana termasuk dalam pendekatan konstruktionis. Ada dua karakteristik penting dari pendekatan konstruksionis, Pertama, pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas politik. Kedua, pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang terus menerus dan dinamis. Dari sisi sumber (komunikator), pendekatan konstruksionis memeriksa pembentukan bagaimana pesan ditampilkan, dan dari sisi penerima ia memeriksa bagaimana konstruksi individu ketika menerima pesan.

Analisis wacana kritis berusaha memahami bagaimana realitas dibingkai, direproduksi dan didistribusikan ke khalayak. Analisis ini bekerja menggali praktek-praktek bahasa di balik teks untuk menemukan posisi ideologis dari narasi dan menghubungkannya dengan struktur yang lebih luas. Dengan demikian analisis wacana merupakan salah satu model analisa kritis yang memperkaya pandangan khalayak bahwa ada keterkaitan antara produk media, ekonomi dan politik. Keterkaitan ini dapat dimunculkan pada saat analisis wacana bergerak menuju pertanyaan bagaimana bahasa bekerja dalam sebuah konteks dan mengapa bahasa digunakan dalam sebuah konteks dan bukan untuk konteks yang lain.

H. Analisis Framing
            Analisis framing digunakan untuk menganalisis bagaimana media massa mengemas peristiwa, media massa “merekontruksi ulang” realita, peristiwa, suasana, keadaan, tentang orang, benda, bahkan pendapat-pendapat berkaitan dengan peristiwa tersebut.

Teori Analisis Framing atau Analisis bingkai (frame analysis Theory) berusaha untuk menentukan kunci-kunci tema dalam sebuah teks dan menunjukkan bahwa latar belakang budaya membentuk pemahaman kita terhadap sebuah peristiwa. Dalam mempelajarai media, analisis bingkai menunjukan bagaimana aspek-aspek struktur dan bahasa berita mempengaruhi aspek-aspek yang lain. (Anonimous, 2004:–). Analisis bingkai juga merupakan dasar struktur kognitif yang memandu persepsi dan representasi realitas. (King, 2004:–). Sedangkan menurut Panuju (2003:1), frame analysis adalah analisis untuk membongkar ideologi di balik penulisan informasi.

Disiplin ilmu Analisis Framing bekerja dengan didasarkan pada fakta bahwa konsep ini bisa ditemui di berbagai literatur lintas ilmu sosial dan ilmu perilaku. Secara sederhana, analisis bingkai mencoba untuk membangun sebuah komunikasi-bahasa, visual, dan pelaku-dan menyampaikannya kepada pihak lain atau menginterpretasikan dan mengklasifikasikan informasi baru. Melalui analisa bingkai, kita mengetahui bagaimanakah pesan diartikan sehingga dapat diinterpretasikan secara efisien dalam hubungannya dengan ide penulis.

Proses analisis ini dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
a. Frame Bulding (Bangunan Bingkai/Frame)
Studi-studi ini mencakup tentang dampak faktor-faktor seperti pengendalian diri terhadap organisasi, nila-nilai profesional dari wartawan, atau harapan terhadap audien terhadap bentuk dan isi berita. Frame bulding meliputi kunci pertanyaan: faktor struktur dan organisasi seperti apa yang mempengaruhi sistem media, atau karakteristik individu wartawan seperti apa yang mampu mempengaruhi penulisan sebuah berita terhadap peristiwa.

Gans, Shoemaker, dan Reeses menyaranan minimal harus ada tiga sumber-sumber pengaruh yang potensial. Pengaruh pertama adalah pengaruh wartawan. Wartawan akan lebih sering membuat konstruksi analisis untuk membuat perasaan memiliki akan kedatangan informasi. Faktor kedua yang mempengaruhi penulisan berita adalah pemilihan pendekatan yang digunakan wartwan dalam penulisan berita sebagai konsekuensi dari tipe dan orientasi politik, atau yang disebut sebagai “rutinitas organisasi”. Faktor ketiga adalah pengaruh dari sumber-sumber eksternal, misalnya aktor politik dan otoritas.

b. Frame setting (Pengkondisian Framing)
Proses kedua yang perlu diperhatikan dalam framing sebagai teori efek media adalah frame setting. Para ahli berargumen bahwa frame setting didasarkan pada proses identifikasi yang sangat penting. Frame setting ini termasuk salah satu aspek pengkondisian agenda (agenda setting).

c. Individual-Level Effect of Farming (Tingkat Efek Framing terhadap Individu)
Tingkat pengaruh individual terhadap seseorang akan membentuk beberapa variabel perilaku, kebiasaan, dan variabel kognitif lainnya telah dilakukan dengan manggunakan model kota hitam (black-box model). Dengan kata lain, studi ini terfokus pada input dan output, dan dalam kebanyakan kasus, proses yang menghubungkan variabel-variabel kunci diabaikan.

d. Journalist as Audience (Wartawan sebagai Pendengar)
Pengaruh dari tata mengulas berita pada isi yang sama dalam media lain adalah fungsi beragam faktor. Wartawan akan lebih cenderung untuk melakukan pemilihan konteks. Di sini, diharapkan wartawan dapat berperan sebagai orang yang mendengarkan analisa pembaca sehingga ada timbal balik ide. Akibatnya, analisa wartawan tidak serta merta dianggap paling benar dan tidak terdapat kelemahan.

Tidak ada komentar: