Senin, 02 Maret 2015

ETIKA DALAM KONSELING

Ditulis Oleh: Wahid Suharmawan

Kode etik merupakan seperangkat aturan atau kaidah – kaidah, nilai-nilai yang mengatur segala perilaku (tindakan dan perbuatan serta perkataan) suatu profesi atau organisasi bagi para  anggotanya. Kode etik profesi merupakan salah satu aspek standarisasi profesi BK sebagai kesepakatan profesional mengenai rujukan etika perilaku. Pekerjaan bimbingan dan konseling tidak bisa lepas dari nilai-nilai yang berlaku. Atas dasar nilai yang dianut oleh Pembimbing/konselor dan terbimbing/klien, maka kegiatan layanan bimbingan dapat berlangsung dengan arah yang jelas dan atas keputusan-keputusan yang berlandaskan nilai-nilai. Para pembimbing/konselor seyogianya berfikir dan bertindak atas dasar nilai-nilai, etika pribadi dan profesional, dan prosedur yang legal. Dalam hubungan inilah para pembimbing/konselor seharusnya memahami dasar-dasar kode etik bimbingan dan konseling. Etika konseling berarti suatu aturan yang harus dilakukan oleh seorang konselor dan hak-hak klien yang harus dilindungi oleh seorang konselor. Ada empat etika yang penting:
1.  Profesional Responsibility. Selama proses konseling berlangsung, seorang konselor harus bertanggung jawab terhadap kliennya dan dirinya sendiri.Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: Responding fully, artinya konselor harus bertanggung jawab untuk memberi perhatian penuh terhadap klien selama proses konseling.
Terminating appropriately. Kita harus bisa melakukan terminasi (menghentikan proses konseling) secara tepat.
Evaluating the relationship. Relasi antara konselor dan klien haruslah relasi yang terapeutik namun tidak menghilangkan yang personal. Counselor’s responsibility to themselves. Konselor harus dapat membangun kehidupannya sendiri secara sehat sehingga ia sehat secara spiritual, emosional dan fisikal.

2. Confidentiality. Konselor harus menjaga kerahasiaan klien.
Ada beberapa hal yang perlu penjelasan dalam etika ini, yaitu yang dinamakan previleged communication.Artinya konselor secara hukum tidak dapat dipaksa untuk membuka percakapannya dengan klien, namun untuk kasus-kasus yang dibawa ke pengadilan, hal seperti ini bisa bertentangan aturan dari etika itu sendiri. Dengan demikian tidak ada kerahasiaan yang absolute.

3. Conveying Relevant Information to The Person In Counseling. Maksudnya klien berhak mendapatkan informasi mengenai konseling yang akan mereka jalani. Informasi tersebut adalah:
Counselor qualifications: konselor harus memberikan informasi tentang kualifikasi atau keahlian yang ia miliki.
Counseling consequences : konselor harus memberikan informasi tentang hasil yang dicapai dalam konseling dan efek samping dari konseling Time involved in counseling: konselor harus memberikan informasi kepada klien berapa lama proses konseling yang akan dijalani oleh klien. Konselor harus bisa memprediksikan setiap kasus membutuhkan berapa kali pertemuan. Misalnya konselor dan  klien bertemu seminggu sekali selama 15 kali, kemudian sebulan sekali, dan setahun sekali.Alternative to counseling: konselor harus memberikan informasi kepada klien bahwa konseling bukanlah satu-satunya jalan untuk sembuh, ada faktor lain yang berperan dalam penyembuhan, misalnya: motivasi klien, natur dari problem, dll.

4. The Counselor Influence. Konselor mempunyai pengaruh yang besar dalam relasi konseling, sehingga ada beberapa hal yang perlu konselor waspadai yang akan mempengaruhi proses konseling dan mengurangi efektifitas konseling. Hal-hal tersebut adalah:
  • The counselor needs : kebutuhan-kebutuhan pribadi seorang konselor perlu dikenali dan diwaspadai supaya tidak mengganggu efektifitas konseling.
  • Authority: pengalaman konselor dengan figur otoritas juga perlu diwaspadai karena akan mempengaruhi proses konseling jika kliennya juga figur otoritas.
  • Sexuality: konselor yang mempunyai masalah seksualitas yang belum terselesaikan akan mempengaruhi pemilihan klien, terjadinya bias dalam konseling, dan resistance ataunegative transference.
  • The counselor `s moral and religius values: nilai moral dan religius yang dimiliki konselor akan mempengaruhi persepsi konselor terhadap klien yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ia pegang.
Konseling merupakan proses bantuan yang sifatnya profesional. Setiap pekerjaan yang sifatnya profesional tentu memiliki seperangkat aturan atau pedoman yang mengatur arah dan gerak dari pekerjaan profesi tersebut. Hal ini sering disebut etika. Konselor sebagai pelaksana dari pekerjaan konseling juga terikat dengan etika. Etika merupakan standard tingkah laku seseorang, atau sekelompok orang yang didasarkan atas nilai-nilai yang disepakati. Ada beberapa aspek dalam membahas etika konseling antara lain:
  • Aspek kesukarelaan
  • Aspek Kerahasiaan
  • Aspek Keputusan Oleh Klien Sendiri
  • Aspek Sosial Budaya
Hubungan konselor dan klien adalah hubungan yang menyembuhkan. Sekalipun profesional, kita tidak boleh menghilangkan relasi personal, misalnya berelasi sebagai teman. Kita harus mengetahui batasnya. Jika relasi kita sebatas personal, kita hanya menjadi pendengar curahan hati. Relasi antara konselor dan klien tidak boleh terlalu personal yang menjadikan klien “over dependent”, atau terjadi relasi yang saling memanfaatkan. Jika demikian, mengingat konselor adalah penanggungjawabnya, ia harus menghentikan proses konseling itu. Konselor sebaiknya berhati-hati juga ketika menyikapi hubungan pribadi dengan klien. Kedekatan yang berlebihan dengan klien sering menjadikan dia sangat bergantung kepada kita. Oleh sebab itu, kita harus bisa menjaga jarak. Kita harus mengetahui tanda-tanda klien mulai bergantung kepada kita. Jika itu sudah terjadi, kita bisa tidak objektif lagi. Kita akan kesulitan dalam melihat masalah klien dan merefleksikan perasaannya ketika relasi tersebut sudah menjadi terlalu personal. Jadi, relasi yang dibangun di antara konselor dan klien haruslah bersifat terapeutik.  

Karakteristik Terapis yang Efektif
  • Beritikad baik: prihatin terhadap keadaan orang lain dan bersedia membantunya (termasuk memperhadapkan dia dengan hal-hal yang belum disadarinya).
  • Bersedia dan dapat hadir bersama klien dalam pengalaman hidupnya, entah suka maupun duka
  • Menyadari dan menerima kelebihannya bukan dengan maksud untuk menguasai atau mendominasi orang lain atau mengecilkan orang lain.
  • Menggunakan metode dan gaya berkonseling yang sesuai dengan kepribadiannya sendiri.
  • Bersedia menanggung risiko, rela menjadi contoh, dalam hal ini bagi kliennya. Bersedia disentuh secara emosional dan menyampaikannya kepada klien pada saat itu diperlukan.
  •  Menghargai diri sendiri sehingga mampu berhubungan dengan orang lain. Menggunakan kelebihannya dalam hal berhubungan dengan orang lain.
  • Bersedia menjadi contoh bagi klien dan tidak menuntut klien melakukan sesuatu yang ia sendiri tidak mampu lakukan. Dituntut kejujuran, keterbukaan, dan kesediaan mengoreksi diri sendiri.
  • Berani mengambil risiko untuk membuat kekeliruan dan berani mengakuinya pula. Bersedia belajar dari kekeliruan itu tanpa mencela diri sendiri.
  • Berorientasi pada pertumbuhan: tidak menganggap diri telah
Corey (2009) menjelaskan beberapa bahasan penting dalam etika konseling, diantaranya:
  • Etika dalam menggunakan tape recorder dalam proses wawancara. Beberapa konselor kadang tidak menggunakan tape recorder karena befikiran akan menimbulkan ketidakpercayaan dan ketidaknyamanan pada klien. Hasil rekaman wawancara yang dihasikan dapat membantu klien dalam menurunkan sedikit kecemasan yang dialaminya.
  • Adanya kecenderungan pihak tertentu untuk lebih mengutamakan perlindungan hukum terhadap klien dibanding berusaha secara baik untuk membantu mereka melewati krisis. Pada poin ini sebetulnya menegaskan bahwa sebaiknya konselor mengkomunikasikan batasa-batasan proses konseling, sehingga klien dapat memutuskan sejauh mana informasi yang akan diberikan.
  • Proses konseling yang dijalani oleh klien sebaiknya dilakukan karena kemauan klien itu sendiri, tanpa ada unsur perintah ataupun paksaan. Salah satu usaha yang dapat dilakukan oleh konselor agar klien bersedia bekerjasama dengan baik dalam proses konseling yakni menghadirkan kemungkinan-kemungkinan kepada klien akan sesuatu yang akan dicapai dalam konseling.
Sumber;
Corey, G. 2009. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. PT. Refika Aditama: Bandung.

Tidak ada komentar: