Oleh; Drs. Wahid Suharmawan, M.Pd.
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami oleh bangsa-bangsa Barat ternyata telah menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Mereka menyadari bahwa kemajuan itu telah memisahkan nilai-nilai spiritual sebagai sumber kebahagiaan hidup dan dirasakan oleh mereka sebagai satu kekurangan. Dewasa ini berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Mereka makin menyadari bahwa suasana keluarga yang harmonis di atas landasan nilai-nilai religi yang kuat pada dasarnya merupakan situasi yang kondusif bagi terciptanya kehidupan. Suasana seperti itu akan menumbuhkan kualitas manusia agamis yang memiliki ketahanan dan keberdayaan yang mantap. Charlene E. Westgate (1996) menyebutkan kondisi seperti itu sebagai “spiritual wellness” yang dia artikan sebagai suatu keadaan yang tercermin dalam keterbukaan terhadap dimensi spiritual yang memungkinkan keterpaduan spiritualitas dirinya dengan dimensi kehidupan lainnya, sehingga mengoptimalkan potensi untuk pertumbuhan dan perwujudan diri. Selanjutnya Charlene E. Westgate mengemukakan ada empat dimensi “spiritual wellness” ini yaitu (1) meaning of life, (2) intrinsic value, (3) transcendence, (4) community of shared values and support. Dengan kata lain mereka yang telah memiliki “spiritual wellness” memiliki kemampuan untuk mewujudkan dirinya secara bermakna dalam dimensi-dimensi hidup secara terpadu dan utuh.
Kondisi ini telah mendorong kecenderungan berkembangnya konseling yang berfondasikan spiritual atau religi. Dalam kaitan ini Stanard, dkk. (2000) mengusulkan agar spiritualitas ini dijadikan sebagai angkatan kelima dalam konseling dan psikoterapi. Selanjutnya dijelaskan bahwa: “Spirituality includes concepts such as trancendence, self-actualization, purpose and meaning, wholness, balance, sacredness, universality, and a sense of High Power”. Berkaitan dengan isu-isu Agama dalam konseling, Zinbauer & Pargament (2000) mengemukakan ada empat pendekatan yaitu (1) rejectionist, yaitu yang menolak campur aduk agama dengan konseling, (2) exclusivist, yang mengakui adanya agama akan tetapi dipisahkan antara agama dengan konseling, (3) Constructivist, yang memberikan peluang pendekatan agama dalam konseling dan konseli sendiri yang membentuknya. (4) pluralis, yaitu pendekatan yang memungkinkan proses konseling yang berlandaskan nilai-nilai agama.
2. Rumusan Masalah
Untuk membatasi agar penulisan tidak melebar maka penulis membuat batasan masalah sebagai berikut:
a. Pengertian Konseling Spritual.
b. Bagaimana tinjauan Al-Qur’an Tentang Manusia.
c. Bagaimana Pendekatan Islami Dalam Pelaksanaan Bimbingan Konseling
3. Tujuan Masalah.
Tujuan Penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Ingin mengetahui Konseling Spritual
b. Ingin mengetahui bagaimana tinjaun Al-Qur’an tentang manusia.
c. Ingin mengetahui Pendekatan islami dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling.
B. Pengertian Konseling Spritual.
Konseling spiritual adalah konseling yang mengarahkan konseli kepada Tuhan dengan asumsi dasar bahwa manusia adalah mahkluk ciptaan Tuhan. Manusia mengalami putus hubungan dengan Tuhan akibat dosa. Akibat lanjutan dari dosa adalah manusia mengalami luka batin yang perlu disembuhkan melalui relasi konseling (Witoha, 2003 ; Clinebell, 2006). Proses penyembuhan dicapai melalui strategi konseling yang merupakan rencana dasar intervensi guna mencapai tujuan konseling, yaitu penyembuhan luka batin (Moeliono, 1988). Strategi yang dibangun atas dasar asumsi manusia sebagai citra Allah itu terdiri atas berbagai teknik konseling (Moeliono,1988).
C. Tinjauan Al-Qur’an (Islam) Terhadap manusia.
Kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami oleh bangsa-bangsa Barat ternyata telah menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Mereka menyadari bahwa kemajuan itu telah memisahkan nilai-nilai spiritual sebagai sumber kebahagiaan hidup dan dirasakan oleh mereka sebagai satu kekurangan. Dewasa ini berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Mereka makin menyadari bahwa suasana keluarga yang harmonis di atas landasan nilai-nilai religi yang kuat pada dasarnya merupakan situasi yang kondusif bagi terciptanya kehidupan. Suasana seperti itu akan menumbuhkan kualitas manusia agamis yang memiliki ketahanan dan keberdayaan yang mantap. Charlene E. Westgate (1996) menyebutkan kondisi seperti itu sebagai “spiritual wellness” yang dia artikan sebagai suatu keadaan yang tercermin dalam keterbukaan terhadap dimensi spiritual yang memungkinkan keterpaduan spiritualitas dirinya dengan dimensi kehidupan lainnya, sehingga mengoptimalkan potensi untuk pertumbuhan dan perwujudan diri. Selanjutnya Charlene E. Westgate mengemukakan ada empat dimensi “spiritual wellness” ini yaitu (1) meaning of life, (2) intrinsic value, (3) transcendence, (4) community of shared values and support. Dengan kata lain mereka yang telah memiliki “spiritual wellness” memiliki kemampuan untuk mewujudkan dirinya secara bermakna dalam dimensi-dimensi hidup secara terpadu dan utuh.
Kondisi ini telah mendorong kecenderungan berkembangnya konseling yang berfundasikan spiritual atau religi. Dalam kaitan ini Stanard, dkk. (2000) mengusulkan agar spiritualitas ini dijadikan sebagai angkatan kelima dalam konseling dan psikoterapi. Selanjutnya dijelaskan bahwa: “Spirituality includes concepts such as trancendence, self-actualization, purpose and meaning, wholness, balance, sacredness, universality, and a sense of High Power”. Berkaitan dengan isu-isu Agama dalam konseling, Zinbauer & Pargament (2000) mengemukakan ada empatt pendekatan yaitu (1) rejectionist, yaitu yang menolak campur aduk agama dengan konseling, (2) exclusivist, yang mengakui adanya agama akan tetapi dipisahkan antara agama dengan konseling, (3) Constructivist, yang memberikan peluang pendekatan agama dalam konseling dan konseli sendiri yang membentuknya. (4) pluralis, yaitu pendekatan yang memungkinkan proses konseling yang berlandaskan nilai-nilai agama.
Dewasa ini terutama di dunia barat, teori Bimbingan dan Konseling (BK) terus berkembang dengan pesat. Perkembangan itu berawal dari berkembangnya aliran konseling psikodinamika, behaviorisme, humanisme, dan multikultural. Akhir-akhir ini tengah berkembang konseling spiritual sebagai kekuatan kelima selain keempat kekuatan terdahulu (Stanard, Singh, dan Piantar, 2000:204). Salah satu berkembangnya konseling spiritual ini adalah berkembangnya konseling religius. Perkembangan konseling religius ini dapat dilihat dari beberapa hasil laporan jurnal penelitian berikut. Stanard, Singh, dan Piantar (2000: 204) melaporkan bahwa telah muncul suatu era baru tentang pemahaman yang memprihatinkan tentang bagaimana untuk membuka misteri tentang penyembuhan melalui kepercayaan, keimanan, dan imajinasi selain melalui penjelasan rasional tentang sebab-sebab fisik dan akibatnya sendiri. Seiring dengan keterangan tersebut hasil penelitian Chalfant dan Heller pada tahun 1990, sebagaimana dikutip oleh Gania (1994: 396) menyatakan bahwa sekitar 40 persen orang yang mengalami kegelisahan jiwa lebih suka pergi meminta bantuan kepada agamawan. Lovinger dan Worthington (dalam Keating dan Fretz, 1990: 293) menyatakan bahwa konseli yang agamis memandang negatif terhadap konselor yang bersikap sekuler, seringkali mereka menolak dan bahkan menghentikan terapi secara dini.
Nilai-nilai agama yang dianut konseli merupakan satu hal yang perlu dipertimbangkan konselor dalam memberikan layanan konseling, sebab terutama konseli yang fanatik dengan ajaran agamanya mungkin sangat yakin dengan pemecahan masalah pribadinya melalui nilai-nilai ajaran agamanya. Seperti dikemukakan oleh Bishop (1992:179) bahwa nilai-nilai agama (religius values) penting untuk dipertimbangkan oleh konselor dalam proses konseling, agar proses konseling terlaksana secara efektif.
Berkembangnya kecenderungan sebagian masyarakat dalam mengatasi permasalahan kejiwaan mereka untuk meminta bantuan kepada para agamawan itu telah terjadi di dunia barat yang sekuler, namun hal serupa menurut pengamatan penulis lebih-lebih juga terjadi di negara kita Indonesia yang masyarakatnya agamis. Hal ini antara lain dapat kita amati di masyarakat, banyak sekali orang-orang yang datang ketempat para kiai bukan untuk menanyakan masalah hukum agama, tetapi justru mengadukan permasalahan kehidupan pribadinya untuk meminta bantuan jalan keluar baik berupa nasehat, saran, meminta doa-doa dan didoakan untuk kesembuhan penyakit maupun keselamatan dan ketenangan jiwa. Walaupun data ini belum ada dukungan oleh penelitian yang akurat tentang berapa persen jumlah masyarakat yang melakukan hal ini, namun ini merupakan realitas yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini.
Gambaran data di atas menunjukkan pentingnya pengembangan landasan konseling yang berwawasan agama, terutama dalam rangka menghadapi konseli yang kuat memegang nilai-nilai ajaran agamanya. Di dunia barat hal ini berkembang dengan apa yang disebut Konseling Pastoral (konseling berdasarkan nilai-nilai Al Kitab) di kalangan umat Kristiani.
Ayat-ayat Al Qur’an banyak sekali yang mengandung nilai konseling, namun hal itu belum terungkap dan tersaji secara konseptual dan sistematis. Oleh karena itu kajian ini berusaha mengungkan ayat-ayat tersebut khususnya tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat, dan menyajikannya secara konseptual dan sistematis. Allah mengisyaratkan untuk memberikan kemudahan bagi orang yang mau mempelajari ayat-ayat Al Qur’an. Firman Allah Swt. yang artinya Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ? (Q.S. Al-Qamar: 40). Nah Terus bagaimana pandangan Islam terhadap manusia, Hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Hakikat Manusia
Menurut konsep konseling, manusia itu pada hakikatnya adalah sebagai makhluk biologis, makhluk pribadi, dan makhluk sosial. Ayat-ayat Al Qur’an menerangkan ketiga komponen tersebut. Di samping itu Al Qur’an juga menerangkan bahwa manusia itu merupakan makhluk religius dan ini meliputi ketiga komponen lainnya, artinya manusia sebagai makhluk biologis, pribadi, dan sosial tidak terlepas dari nilai-nilai manusia sebagai makhluk religius.
Menurut konsep konseling, manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang menentukan kepribadian manusia berupa insting. Manusia hidup pada dasarnya memenuhi tuntutan dan kebutuhan insting. Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an potensi manusia yang relevan dengan insting ini disebut nafsu. Menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk yang utuh dan sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius. Manusia sebagai makhluk religius meliputi ketiga komponen lainnya, yaitu manusia sebagai makhluk biologis, pribadi dan sosial selalu terikat dengan nilai-nilai religius.
a. Sebagai Makhluk Biologis
Menurut konsep konseling, manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang menentukan kepribadian manusia berupa insting. Manusia hidup pada dasarnya memenuhi tuntutan dan kebutuhan insting. Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an potensi manusia yang relevan dengan insting ini disebut nafsu.
Potensi nafsu ini berupa al hawa dan as-syahwat. Syahwat adalah dorongan seksual, kepuasan-kepuasan yang bersifat materi duniawi yang menuntut untuk selalu dipenuhi dengan cepat dan memaksakan diri serta cenderung melampau batas (Ali-Imran: 14, Al-A’raf: 80, dan An-Naml:55.). Al Hawa adalah dorongan-dorongan tidak rasional, sangat mengagungkan kemampuan dan kepandaian diri sendiri, cenderung membenarkan segala cara, tidak adil yang terpengaruh oleh kehendak sendiri, rasa marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci yang berupa emosi atau sentimen. Dengan demikian orang yang selalu mengikuti al-hawa ini menyebabkan dia tersesat dari jalan Allah (An-Nisa:135, Shad: 26 dan An-Nazi’at: 40-41).
Ada tiga jenis nafsu yang paling pokok, yaitu: (1) nafsu amarah , yaitu nafsu yang selalu mendorong untuk melakukan kesesatan dan kejahatan (Yusuf:53), (2) nafsu lawwaamah, yaitu nafsu yang menyesal . Ketika manusia telah mengikuti dorongan nafsu amarah dengan perbuatan nyata, sesudahnya sangat memungkinkan manusia itu menyadari kekeliruannya dan membuat nafsu itu menyesal (Al Qiyamah:1-2), dan (3) nafsu muthmainnah, yaitu nafsu yang terkendali oleh akal dan kalbu sehingga dirahmati oleh Allah swt.. Ia akan mendorong kepada ketakwaan dalam arti mendorong kepada hal-hal yang positif (Al-Fajr: 27-30).
b. Sebagai Makhluk Pribadi
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam Terapi Terpusat pada Pribadi, Terapi Eksistensial, Terapi Gestalt, Rasional Emotif Terapi, dan Terapi Realita. Manusia sebagai makhluk pribadi memiliki ciri-ciri kepribadian pokok sebagai berikut: (1) memiliki potensi akal untuk berpikir rasional dan mampu menjadi hidup sehat, kreatif, produktif dan efektif, tetapi juga ada kecendrungan dorongan berpikir tidak rasional (2) memiliki kesadaran diri, (3) memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan dan bertanggung jawab, (4) merasakan kecemasan sebagai bagian dari kondisi hidup, (5) memiliki kesadaran akan kematian dan ketiadaan, (6) selalu terlibat dalam proses aktualisasi diri.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, manusia mempunyai potensi akal untuk berpikir secara rasional dalam mengarahkan hidupnya ke arah maju dan berkembang (Al-Baqarah: 164, Al-Hadid:17, dan Al-Baqarah: 242), memiliki kesadaran diri (as-syu’ru) (Al-Baqarah:9 dan 12 ), memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan (Fushilat: 40, Al-Kahfi: 29, dan Al-Baqarah: 256 ) serta tanggung jawab (Al-Muddatsir: 38, Al-Isra: 36, Al-Takatsur: 8 ). Sekalipun demikian, manusia juga memiliki kondisi kecemasan dalam hidupnya sebagai ujian dari Allah yang disebut al khauf (Al-Baqarah: 155), memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan fitrahnya kepada pribadi takwa (Ar-Ruum: 30, Al-A’raf: 172-174, Al-An’am:74-79, Ali-Imran: 185, An-Nahl: 61, dan An-Nisa: 78).
c. Sebagai Makhluk Sosial
Menurut konsep konseling, seperti yang diungkapkan dalam Terapi Adler, Terapi Behavioral, dan Terapi Transaksional, manusia sebagai memiliki sifat dan ciri-ciri pokok sebagai berikut: (1) manusia merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan, tetapi juga sekaligus sebagai produser terhadap lingkungannya, (2) prilaku sangat dipengaruhi oleh kehidupan masa kanak-kanak, yaitu pengaruh orang tua (orang lain yang signifikan), (3) keputusan awal dapat dirubah atau ditinjau kembali, (4) selalu terlibat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cinta kasih dan kekeluargaan.
Sebagai makhluk sosial, Al Qur’an menerangkan bahwa sekalipun manusia memilikipotensi fitrah yang selalu menuntut kepada aktualisasi iman dan takwa, namun manusia tidak terbebas dari pengaruh lingkungan atau merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan terutama pada usia anak-anak. Oleh karena kehidupan masa anak-anak ini sangat mudah dipengaruhi, maka tanggung jawab orang tua sangat ditekankan untuk membentuk kepribadian anak secara baik (At-Tahrim: 6) Namun demikian, setelah manusia dewasa (mukallaf), yakni ketika akal dan kalbu sudah mampu berfungsi secara penuh, maka manusia mampu mengubah berbagai pengaruh masa anak yang menjadi kepribadiannya (keputusan awal) yang dipandang tidak lagi cocok (Ar-Ra’du: 85 dan Al-Hasyr:18), bahkan manusia mampu mempengaruhi lingkungannya (produser bagi lingkungannya) (Al-Ankabut: 7, Al-A’raf: 179, Ali-Imran: 104, Al-Ashr:3, dan At-Taubah:122). Sebagai makhluk sosial ini pula manusia merupakan bagian dari masyarakat yang selalu membutuhkan keterlibatan menjalin hubungan dengan sesamanya, hal ini disebut dengan silaturrahmi (Al-Hujurat:13, Ar-Ra’du: 21, dan An Nisa: 1).
d. Sebagai Makhluk Religius
Konsep konseling tidak ada menerangkan manusia sebagai makhluk religius. Sebagai makhluk religius manusia lahir sudah membawa fitrah, yaitu potensi nilai-nilai keimanan dan nilai-nilai kebenaran hakiki. Fitrah ini berkedudukan di kalbu, sehingga dengan fitrah ini manusia secara rohani akan selalu menuntut aktualisasi diri kepada iman dan takwa dimanapun manusia berada (Ar-Ruum: 30 dan Al-A’raf:172-174). Namun tidak ada yang bisa teraktualisasikan dengan baik dan ada pula yang tidak, dalam hal ini faktor lingkungan pada usia anak sangat menentukan. Manusia sebagai makhluk religius berkedudukan sebagai abidullah dan sebagai khalifatullah di muka bumi.
Abidullah merupakan pribadi yang mengabdi dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Allah(Adz-Dzariyat: 56). Hal ini disebut ibadah mahdhah. Khalifatullah merupakan tugas manusia untuk mengolah dan memakmurkan alam ini sesuai dengan kemampuannya untuk kesejahteraan umat manusia, serta menjadi rahmat bagi orang lain atau yang disebut rahmatan lil’alamin (Al-Baqarah: 30).
2. Pribadi Sehat
Berdasarkan konsep konseling bahwa pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sosial. Al Qur’an di samping menerangkan pribadi yang sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya terhadap diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sosial, juga menerangkan pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt.
a. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut konsep konseling, seperti dikemukakan dalam Psikoanalisis, Eksistensial, Terapi Terpusat pada Pribadi dan Rasional Emotif Terapi. Pribadi yang mampu megngatur diri dalam hubungannya terhadap diri sendiri memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) ego berfungsi penuh, serta serasinya fungsi id, ego dan superego, (2) bebas dari kecemasan, (3) keterbukaan terhadap pengalaman, (4) percaya diri, (5) sumber evaluasi internal, (6) kongruensi, (7) menerima pengalaman dengan bertanggung jawab, (8) kesadaran yang meningkat untuk tumbuh secara berlanjut, (9) tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), dan (10) menerima diri sendiri.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri yang relevan dengan kriteria pokok di atas adalah pribadi yang akal dan kalbunya berfungsi secara penuh dalam mengendalikan dorongan nafsu (Al-Qashas: 60, Yasin: 62). Mampu membebaskan diri dari khauf (kecemasan) (Al Baqarah: 38, Al Baqarah: 62, 277, Al-An’am: 48 dan Ar-Ra’du: 28). Apabila manusia dapat mengatasi atau terbebas dari kecemasan ini akan melahirkan kepribadian yang sehat seperti pribadinya para aulia Allah (Yunus: 62). Keterbukaan terhadap pengalaman (Az-Zumar:17-18, Ali-Imran:193). Percaya diri, sikap percaya diri ini ada pada orang yang istiqamah (konsisten) dalam keimanan, mereka ini tidak ada rasa cemas, rasa sedih (Fushilat: 30, Al-Ahqaf: 13, Ali-Imran: 139). Mampu menjadikan hati nurani yang dilandasi iman sebagai kontrol diri dalam setiap gerak dan kerja (sumber evaluasi internal), sikap ini tercermin dalam kepribadian ihsan yaitu pola hidup yang disertai kesadaran yang mendalam bahwa Allah itu hadir bersamanya (Ali-Imran: 29, Ar-Ra’du:11, Qaaf:16-18).
Di samping itu, juga merupakan pribadi yang sehat adalah pribadi yang memiliki kepribadian shidiq, yaitu sifat kongruensi serasi antara apa yang ada di dalam hati dengan perbuatan, memegang teguh kepercayaan, serasi antara sikap dan perilaku (Al-Ahzab: 23-24), mau menerima pengalaman dan bertanggung jawab, salah satu bentuk penerimaan terhadap pengalaman dengan bertanggung jawab adalah berusaha memperbaiki dan tidak mengulangi apabila melakukan kesalahan (An-Nisa: 110, Ali-Imran:135), serta adanya kesediaan untuk tumbuh secara berlanjut, yaitu sealalu berusaha mengubah diri sendiri ke arah yang lebih baik dan bersegera melakukannya (Ar-Ra’du: 11, Al-Anfal: 53, Ali-Imran:114, dan Fathir: 32), memiliki sikap tawakkal dan menyandarkan usaha dan harapan kepada Allah dengan kata insya Allah, dengan kata lain tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan) (Al-Imran: 140, Al-Insyirah: 5-8, Al-Kahfi:23-24, Ali-Imran:159, dan Al-Anfal: 61,49), serta mampu bersyukur atas apa yang ada dan terjadi pada diri sendiri atau menerima diri sendiri. (An-Nahl: 78, Ibrahim:7, dan An-Naml: 40).
b. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Menurut konsep konseling seperti dikemukakan dalam Terapi Adler, Behavioral, Transaksional, dan Terapi Realita, bahwa pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya terhadap orang lain memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) mau berkarya dan menyumbang, serta mau memberi dan menerima, (2) memandang baik diri sendiri dan orang lain (I ‘m Ok you are Ok ), (3) signifikan dan berharga bagi orang lain, dan (4) memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain yang relevan dengan kriteria pkk di atas adalah pribadi yang mau melakukan amal saleh, yaitu perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya dan juga orang lain (An-Nisa: 124, Al-Ashr: 1-3, At-Tin:5-6). Disamping amal saleh, adalah bersikap ta’awwun, yaitu saling memberi dan menerima atau tolong menolong atau sikap mau memberi dan menerima (An-Nisa: 86), sikap ini atas dasar kebajikan dan ketakwaan, bukan dalam hal kejahatan dan kemunkaran (Al-Ma’idah:2), berpikiran positif (husnus zhan) baik terhadap diri sendiri dan orang lain (Al-Hujurat: 11, Al-Baqarah: 237, Ali-Imran:134, dan At-Taghabun:14).
Di samping hal-hal di atas dia juga mau mengerjakan amar ma’ruf dan nahi mungkar, selalu berbuat adil kepada siapapun dalam arti signifikan dan berharga bagi orang lain (Ali-Imran:104, At-Tahrim:6, dan Al-Midah: 8), dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain, baik dalam bermuamalah maupun beribadah secara langsung maupun tidak langsung (Al-Baqarah: 275, An-Nisa: 29). Hal ini banyak sekali dicontohkan dalam hadits Nabi, misalnya Nabi melarang orang duduk-duduk dipinggir jalan yang membuat orang yang mau lewat merasa terganggu, begitu juga menghormati lawan bicara dengan memperhatikan dia bicara, juga menghormati hak-hak tetangga dari kemungkinan perbuatan kita yang mengganggunya, dan Nabi memendekkan bacaan ayat Al Qur’an dalam shalat berjemaah ketika mendengan salah satu anggota jemaahnya ada anaknya yang menangis.
c. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam teorinya Adler dan Behavioral. Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang mampu berinteraksi dengan lingkungannya dan dapat menciptakan atau mengolah lingkungannya secara baik.
Al Qur’an menerangkan, bahwa Allah menciptakan semua yang ada di bumi ini adalah untuk kepentingan manusia (Al-Baqarah: 29). Berbagai kerusakan di alam ini adalah akibat dari perbuatan manusia sendiri (Ar-Rum: 41). Untuk itu pribadi yang sehat adalah pribadi yang peduli terhadap lingkungannya, ia berusaha mengambil pelajaran dari apa yang terjadi di lingkungannya (Ali-Imran: 137).
d. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Konsep konseling tidak ada menerangkan hal ini. Al Qur’an merangkan bahwa pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt. antara lain adalah pribadi yang selalu meningkatkan keimanannya yang dibuktikan dengan melaksanakan ibadah dengan benar dan ikhlas, menjalankan muamalah dengan benar dan dengan niat yang ikhlas (Az-Zumar: 2 dan 11 hal.151 dan Al-Bayyinah: 5, At-Taubah: 105). Di samping itu juga pribadi yang mampu menjalankan secara seimbang diri sebagai abidullah yang selalu beribadah sesuai tuntunan-Nya, juga menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai khalifatullah dengan baik (hablun minallah dan hablun minannas) sehingga dari segi kehidupan dunianya sejahtera, amal akhiratnya berjalan dengan baik (Al-Qashash: 77, Al-Baqarah: 201).
3. Pribadi Tidak Sehat
Berdasarkan konsep konseling, pribadi tidak sehat adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Ayat-ayat Al Qur’an di samping menerangkan tentang pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, juga menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt.
a. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam pendekatan Psikoanalisis, Eksistensial, Terapi Terpusat pada Pribadi dan Rasional Emotif Terapi, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri memiliki ciri kepribadian pokok: (1) ego tidak berfungsi penuh serta tidak serasinya antara id, ego, dan superego, (2) dikuasai kecemasan, (3) tertutup (tidak terbuka terhadap pengalaman), (4) rendah diri dan putus asa, (5) sumber evaluasi eksternal, (6) inkongruen, (7) tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, (8) kurangnya kesadaran diri, (9) terbelenggu ide tidak rasional, (10) menolak diri sendiri.
Al Qur’an menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi yang akal dan kalbunya tidak berfungsi dengan baik dalam mengendalikan nafsu, sehingga nafsu berbuat sekehendaknya, penuh emosi, tidak terkendali dan tidak bermoral (Yunus: 100, Al-Anfal: 22, Al-Haj:46, Al-A’raf: 179, Maryam: 59, An-Nisa: 27, dan Al-Jatsiah: 23). Di samping itu, pribadi yang tidak mampu membebaskan diri dari kecemasan (al khauf), sedang kecemasan itu sendiri terlahir dari kekufuran, kemusyrikan, atau perbuatan dosa baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia (Ali-Imran:151). Pribadi yang ta’ashub, yaitu tidak terbuka terhadap pengalaman terutama sesuatu yang datang dari orang yang bukan golongan dan alirannya, walaupun pengalaman baru itu merupakan kebenaran (Al-Maidah: 104, Lukman: 21 dan 7, Yunus 78).
Di samping itu, juga pribadi yang tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, yaitu suka melemparkan kesalahannya kepada orang lain, atau tidak mengakuinya (Al-A’raf: 8, dan An-Nisa:112), dan yang lebih parah lagi adalah berkepribadian munafik (inkongruen), yaitu ketidakserasian antara apa yang di dalam hati dengan yang dilahirkan, antara perkataan dan perbuatan, dan antara perbuatan di satu tempat dengan tempat yang lain dengan maksud mencari keuntungan pribadi dalam konseling disebut dengan inkongruensi (As-Shaf: 2-3, Al-Baqarah:44, 8, An-Nisa: 145). Juga sifat riya yaitu pribadi yang mengevaluiasi dirinya berdasarkan evaluasi eksternal (Al-Baqarah: 264, An-Nisa: 142, Al-Ma’un: 4-6, dan Al-Anfal: 47), kurangnya kesadaran diri dan tidak konstruktif (Al-Baqarah: 9 dan 12, An-Naml:27), juga orang yang tidak pandai bertawakkal (terbelenggu ide tidak rasional atau tuntutan kemutlakan) (Fushilat: 49, Luqman: 34), rendah diri dan putus asa (ya’uus/qunuut) (Al-hujurat: 1, Al-Isra: 83, Huud: 9, dan Al-Hijr: 56). Kemudian, pribadi yang tidak pandai bersyukur terhadap nikmat Allah atau menolak terhadap diri sendiri (Shaad: 27 dan Ali-Imran:191, Ar-Ruum: 44 hal. 177 dan Ibrahim: 7).
b. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam Terapi Adler, Terapi Behavioral, Transaksional, dan Terapi realita, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) egois dan tidak mau menyumbang dan lebih suka menerima, (2) memandang diri sendiri benar sedang orang lain tidak (jelek), (3) tidak konstruktif, dan (4) memenuhi kebutuhan sendiri dengan tidak peduli (merampas) hak orang lain.
Al Qur’an menerangkan, pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang bakhil dalam arti egois dan tidak mau menyumbang atau membelanjakan hartanya di jalan kebajikan (Al-Lail: 8-10, Ali-Imran:175, dan Muhammad: 38), tidak mau saling menolong (ta’awun) atau lebih suka menerima daripada memberi (Al-Ma’arij:19-21), memiliki sifat marhun dan takabbur yaitu sifat sombong dan merasa diri lebih besar dan berharga daripada orang lain (Al-Isra: 37, Luqman:18 hal.180-181), orang yang memiliki sifat ini akan mudah melakukan hal-hal yang negatif terhadap orang lain, seperti su’us zhan (berpikir negatif), tajassus yaitu suka mencari-cari kesalahan orang lain, sedang kesalahan sendiri tidak diperhatikan, ghibah yaitu menggunjing sesama dan sebagainya (lihat Q.S. Al-Hujurat:12).
Di samping itu, juga pribadi yang senang melihat orang lain susah, enggan melakukan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu menyuruh berbuat baik dan mencegah kejahatan dengan kata lain adalah pribadi yang tidak konstruktif (An-Nur:19, Al-Baqarah: 11, dan As-Syu’ara: 152-152), pribadi yang dalam memenuhi kebutuhannya sendiri dengan tidak menghargai atau mengorbankan hak orang lain, seperti berbisnis dengan riba, memperoleh harta dengan jalan batil, yaitu curang, menipu, mengurangi takaran dan timbangano dalan berjual beli, menunda-nunda pembayaran upah buruh, dan sebagainya (Ali-Imran: 130, Al-Baqarah: 278, An-Nisa:161, Al-Baqarah: 188, dan An-Nisa: 29).
c. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Menurut konsep konseling seperti dikemukakan dalam Terapi Adeler dan Terapi Behavioral, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi dan mengelola lingkungannya secara baik, sehingga bisa melakukan hal-hal yang membuat lingkungan menjadi rusak.
Senada dengan konsep konseling di atas, Al Qur’an menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi denganlingkungannya secara baik, sehingga ia tidak peduli dengan kerusakan lingkungan, atau ikut berbuat sesuatu yang bisa merusak lingkungannya, sekaligus tidak mampu membuat lingkungannya menjadi kondusif bagi kehidupan Al Qur’an mengungkapkan bahwa terjadinya kerusakan di bumi ini adalah karena perbuatan manusia (Ar-Ruum: 41, Al-Baqarah: 204-205 dan Al-Qashash: 77).
d. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Konsep konseling tidak ada menerangkan hal ini. Menurut Al Qur’an, pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah antara lain adalah pribadi yang kufur dan syirik. Pribadi kufur adalaho pribadi yang tidak beriman dan enggan menjalankan syari’at Allah (hukum-hukum Allah), termasuk juga sebagai kufur orang yang dengan sengaja tidak mau menjalankan ibadah kepada Allah Swt., dan tidak menerima dengan syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah (kufur nikmat). Dalam melakukan muamalah orang yang memiliki kepribadian kufur cenderung berlaku zhalim, mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan hak orang lain(Al Baqarah: 6, Maryam: 59, At-Taubah: 35, An Nisa: 168). Di samping kekufuran, kesalahan yang sangat fatal terhadap Allah Swt. adalah syirik, yaitu “menyekutukan Tuhan”. Orang yang kena penyakit syirik ini meyakini bahwa Allah Swt adalah Tuhannya, namun amal perbuatannya diorientasikan bukan untuk Allah, melainkan untuk sesuatu yang lain, seperti kepada roh halus, atau semata-mata untuk manusia, baik dalam melakukan ibadah maupun dalam bermuamalah (An Nisa: 48, 36, dan Al Kahfi: 110). Kemudian, pribadi yang tidak mampu memungsikan diri secara seimbang antara diri sebagai abidullah dan sebagai khalifah, baik hanya mengutamakan urusan keduniaan dan ibadah tertinggalkan, atau lebih mengutamakan ibadah dan urusan keduniaan tertinggalkan (Ali-Imran: 112).
D. Pendekatan Islami Dalam Pelaksanaan Bimbingan Konseling
Pendekatan Islami dapat dikaitkan dengan aspek-aspek psikologis dalam pelaksanaan bimbingan konseling yang meliputi pribadi, sikap, kecerdasan, perasaan, dan seterusnya yang berkaitan dengan konseli dan konselor.
Bagi pribadi muslim yang berpijak pada fondasi tauhid pastilah seorang pekerja keras, namun nilai bekerja baginya adalah untuk melaksanakan tugas suci yang telah Allah berikan dan percayakan kepadanya, ini baginya adalah ibadah. Sehingga pada pelaksanaan bimbingan konseling, pribadi muslim tersebut memiliki ketangguhan pribadi tentunya dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Selalu memiliki Prinsip Landasan dan Prinsip Dasar yaitu hanya beriman kepada Allah SWT.
2. Memiliki Prinsip Kepercayaan, yaitu beriman kepada malaikat.
3. Memiliki Prinsip Kepemimpinan, yaitu beriman kepada Nabi dan Rasulnya.
4. Selalu memiliki Prinsip Pembelajaran, yaitu berprinsip kepada Al-Qur’an Al Karim.
5. Memiliki Prinsip Masa Depan, yaitu beriman kepada “Hari Kemudian”
6. Memiliki Prinsip Keteraturan, yaitu beriman kepada “Ketentuan Allah”
Jika konselor memiliki prinsip tersebut (Rukun Iman) maka pelaksanaan bimbingan dan konseling tentu akan mengarahkan konseli kearah kebenaran, selanjutnya dalam pelaksanaannya pembimbing dan konselor perlu memiliki tiga langkah untuk menuju pada kesuksesan bimbingan dan konseling. Pertama, memiliki mission statement yang jelas yaitu “Dua Kalimat Syahadat”, kedua memiliki sebuah metode pembangunan karakter sekaligus symbol kehidupan yaitu “Shalat lima waktu”, dan ketiga, memiliki kemampuan pengendalian diri yang dilatih dan disimbolkan dengan “puasa”. Prinsip dan langkah tersebut penting bagi pembimbing dan konselor muslim, karena akan menghasilkan kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ) yang sangat tinggi (Akhlakul Karimah). Dengan mengamalkan hal tersebut akan memberi keyakinan dan kepercayaan bagi counselee yang melakukan bimbingan dan konseling.
“Dan hendaklah ada diantara kamu suatu umat yang menyeru berbuat kebaikan, dan menyuruh orang melakukan yang benar, serta melarang yang mungkar. Merekalah orang yang mencapai kejayaan.” (Ali Imran : 104)
Pada ayat tersebut memberi kejelasan bahwa pelaksanaan bimbingan dan konseling akan mengarahkan seseorang pada kesuksesan dan kebijakan, dan bagi konselor sendiri akan mendapat nilai tersendiri dari Allah SWT. Para pembimbing dan konselor perlu mengetahui pandangan filsafat Ketuhanan (Theologie), manusia disebut “homo divians” yaitu mahluk yang berke-Tuhan-an, bebarti manusia dalam sepanjang sejarahnya senantiasa memiliki kepercayaan terhadap Tuhan atau hal-hal gaib yang menggetarkan hatinya atau hal-hal gaib yang mempunyai daya tarik kepadanya (mysterium trimendum atau mysterium fascinans). Hal demikian oleh agama-agama besar di dunia dipertegas bahwa manusia adalah mahluk yang disebut mahluk beragama (homo religious), oleh karena itu memiliki naluri agama (instink religious), sesuai dengan firman Allah SWT :
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah (naluri) Allah yang telah menciptakan manusia menurut naluri itu, tidak ada perubahan pada naluri dari Allah itu. Itulah agama yang lurus, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Ar-Rum : 30)
Pada diri counselee juga ada benih-benih agama, sehingga untuk mengatasi masalah dapat dikaitkan dengan agama, dengan demikian pembimbing dan konselor dapat mengarahkan individu (counselee) kearah agamaya, dalam hal ini Agama Islam.
Dengan berkembangnya ilmu jiwa (psikologi), diketahui bahwa manusia memerlukan bantuan untuk mengatasi kesulitan yang dihadapinya dan muncullah berbagai bentuk pelayanan kejiwaaan, dari yang paling ringan (bimbingan), yang sedang (konseling) dan yang paling berat (terapi), sehingga berkembanglah psikologi yang memiliki cabang-cabang terapan, diantaranya bimbingan, konseling dan terapi.
Selanjutnya ditemukan bahwa agama, terutama Agama Islam mempunyai fungsi-fungsi pelayanan bimbingan, konseling dan terapi dimana filosofinya didasarkan atas ayat-ayat Alquran dan Sunnah Rosul. Proses pelaksanaan bimbingan, konseling dan psikoterapi dalam Islam, tentunya membawa kepada peningkatan iman, ibadah dan jalan hidup yang di ridhai Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Sutoyo, 2007, Bimbingan Dan Konseling Islami , Semarang : Cv Cipta Prima Nusantara
M. Surya, Inovasi bimbingan dan konseling: Mejawab tantangan Global, disampaikan pada Kongres ABKIN IX Di Surabaya 14-17 November 2009.
Abdul Rahman Saleh dan Muhbib Abdul Wahab. 2004. Psikologi Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam, Jakarta : Kencana.
Sahilun A. Nasir. 2002. Peranan Pendidikan Agama Terhadap Pemecahan Problema Remaja. Jakarta :Kalam Mulia.
Zakiah Daradjat. 2002. Psikoterapi Islami. Jakarta : Bulan Bintang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar